Feeds:
Posts
Comments

Archive for July, 2010

Mata Ajaib

Cuma lengkingan saxophone yang terdengar samar. Riuh sekali. Bukan sebab ada banyak sekali orang, tetapi obrolan mereka penuh semangat. Atau mungkin memang suara musik dari speaker yang terlalu kecil. Aku tak tahu lagu apa yang sedang diputar, tak jelas juga siapa yang memainkan. Tapi aku tahu, itu jazz.

Aku teringat padamu, menangis pelan sekali pada satu malam. Pelan sekali, sampai butuh bermenit-menit memperhatikan wajahmu dan akhirnya yakin kau memang menangis. Ketika beberapa tetes airmata akhirnya mengalir dari sudut mata, aku yakin kau memang menangis.
Aku tidak diajari untuk menangis, katamu.
Hmm…

Kuperhatikan matamu. Mata yang bersinar ajaib. Mata yang sudah menarikku dalam-dalam selama beberapa tahun. Mata yang seperti mengajakku menari ketika aku pertama kali melihatnya. Mata yang selalu menantang, menunjukkan kalau pemiliknya adalah seorang yang keras, yang tidak diajari untuk menangis. Tapi dia sedang menangis sekarang. Sesekali menatapku dengan pandangan yang sulit kutebak. Banyak orang bilang, mata tak bisa menipu. Tapi sungguh aku tak tahu apa arti pandanganmu yang sesekali mengarah padaku itu. Apakah aku yang terlalu bodoh, atau matamu memang terlalu misterius bagiku? Entah.

Sampai bertahun-tahun sejak kutatap matamu untuk pertama kali, aku tak pernah bisa memahami setiap tindakanmu. Liar dan kadang begitu kasar. Lalu disaat lain, amat lembut dan memperlakukanku seandai cuma aku lelaki yang tersisa. Selalu ada hal baru yang kutemui sebelum dapat kupahami dan kumengerti sikap dan tindakanmu yang lain. Selalu seperti itu. Selama bertahun-tahun. Sampai pada waktunya, akhir yang pula menjadi awal.

Semakin malam kafe semakin dipenuhi orang-orang. Serombongan bule masuk. Beberapa diantaranya menggendong backpack. Mereka menggabungkan dua meja jadi satu. Beramai-ramai merokok, tua muda, laki-laki perempuan. Semuanya merokok. Dari baunya kurasa itu cigarillos. Sepasang dari mereka sangat mesra, berbisik dengan amat rapat sampai pipi saling menempel, bibir menggesek daun telinga. Lalu sesekali berciuman. Lalu mengisap rokok dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat keatas. Asap yang mengepul dibawah lampu. Sekilas jadi teringat tentang satu adegan di film sejarah Indonesia. Aku jadi tersenyum sendiri. Betapa sejarah dapat diukir kedalam ingatan jutaan manusia lewat sebuah film penuh skenario.

Musik masih samar terdengar. Kali ini bukan saxophone lagi. Tapi suara serak Louis Armstrong. Kalau tidak salah, Stars Fell On Alabama. Aku ingat, kau pernah bilang, tak mengerti dengan jazz. Kupingmu bukan kuping kelas borju, katamu. Ah, siapa bilang jazz cuma bisa dinikmati kaum borjuis? Kau sangkal dengan gambaran tentang jazz yang dimainkan di kafe yang menjual secangkir kopi seharga sepuluh kali harga sepiring nasi penuh lauk di warung langganan kita. Ah, aku cuma menikmati lagu sebagai lagu. Tarikan suara dan perbincangan antar alat musik yang dimainkan. Aku cuma ingin menyanyikan lagu untukmu. Aku seringkali berkhayal, ketika nanti dalam pesta perkawinan, pada malamnya akan ada sebuah keyboard, dan gitar akustik. Lalu aku mengajakmu bernyanyi. Meski aku tahu kau tak suka menyanyi dimuka umum. Aku cuma ingin menyanyikan lagu untukmu, untuk kita.

Kurasa lagu sudah berganti beberapa kali. Aku masih teringat padamu. Aku rindu tatapan matamu, yang bertahun-tahun lamanya mengikatku. Sampai akhirnya sama-sama kita menyadari kalau hidup tak sekedar jual beli perasaan di udara.

Di seberang meja agak jauh, aku melihat perempuan yang tadi duduk di depan forum. Menghadapi notebook yang tercetak logo bergambar apel di punggung layar monitornya sambil menanggapi pertanyaan dan sanggahan dari orang-orang tentang pendapatnya mengenai revolusi, perempuan dan feminisme. Aku tak mengerti sedikitpun apa yang dia bicarakan tadi. Aku bertahan duduk di dalam, mengikuti arus pembicaraan saat aku menemukan diriku yang lain. Sesuatu yang terasa asing tapi bukan hal baru. Sesuatu yang dulu pernah ada, tapi sudah hilang lama. Di kafe ini, perempuan itu sepertinya masih melakukan berdiskusi tentang yang tadi dibahas di forum. Ah, feminisme, dunia patriarki, revolusi. Aku tetap tak mengerti.

Yang aku tahu, perempuan sebenarnya tak menjadi masyarakat kelas dua. Perempuan menguasai lelaki dengan caranya sendiri. Cara seorang perempuan. Seperti dia, perempuan yang menguasaiku lewat matanya yang ajaib.

Pejaten 130710

Read Full Post »